Tidak Sengaja Ke Waerebo

Siapa yang memasukkan Desa Adat Waerebo dalam bucket listnya? atau sudah perna ke sana?. Saya salah satunya. Dulu perna kepikiran untuk pergi ke desa yang sangat fotogenik itu. Secara kalo ngomongin Manggarai, selain Pulau Komodo, ya Waerebo. Tidak heran jika cari referensi untuk berkunjung ke Waerebo cukup banyak.

Yang jadi persoalan ketika saya tidak mendapatkan detail informasi mengenai pergi ke Waerebo tanpa pemandu wisata. Secara dari kebanyakan referensi kunjungan ke Waerebo orang-orang bergantung sekali pada pemandu wisata bahkan ikut travel. Bahkan orang Indonesia sekalipun kebanyakan pakai jasa travel. Sementara saya orangnya malas untuk ikut travel apa lagi sedang solo traveling.

Meski jalan jelek, rute menuju Waerebo pemandangannya tetap cantik

Pada akhirnya saya bulatkan keputusan untuk tidak ke Waerebo bahkan saat tiba di Flores. Waerebo sudah terharpus dari bucket list saya. Cukup nonton youtbe dan baca ceritanya saja. Pikirku. Ternyata setelah tiba di Ruteng saya diracuni sama pemilik hostel tempat tinggal saya. “bagus, sayang sudah jauh-jauh datang trus tidak ke Waerebo” kata si pemilik hostel setelah berkenalan. Kebetulan dia baru saja kembali dari Waerebo saat saya chekin. Kelihatan capeknya. Capek karena harus duduk dimobil berjam-jam dengan kondisi jalan yang sebagian besar HANCUR.

Usai mengorek-ngorek informasi dari sang pemilik hoestel yang sepertinya sering ngantar tamu ke Waerebo, malamnya saya memutuskan untuk pergi ke Waerebo esok hari. Toh dari hasil berburuh informasi tidak banyak yang bisa saya eksplore di Ruteng. Kotanya sudah hampir saya kelilingi dalam beberapa jam sesaat setelah tiba di Ruteng. Sisanya bisa setelah kembali dari Waerebo.

Pemandangan pas tiba di Desa Denge

Usai sarapan jam 9 pagi, saya langsung tancap gas. Kali ini saya dapat motor yang agak ”nyaman”. Meski tetap matic tapi lebih nyaman karena ukurannya yang besar. Iformasnya saya harus mengendarai motor 3-4 jam baru sampai di Desa Denge. Desa terdekat untuk sampai di starting point untuk tracking ke Waerebo.

Tidak bisa dipungkiri jalan di Flores sangat bagus. Terutama jalan lintas kabupaten. secara ini merupakan jalan yang didanai dari Propinsi atau bahkan Jalan Nasional. Tapi seperti yang perna saya ceritakan di blog saya sebelumnya jalan untuk urusan kabupaten persis sama dengan daerah lain yang tidak terurus. Sama dengan jalan ke Denge. Rasanya membosankan tapi karena ini sedang traveling saya harus menikmati. meski kebanyakan dalam hari mengerutu memaki-maki pemerintah daerah yang tidak bisa memperbaiki jalan dan hanya sibuk promosi wisata.

Jalannya kebanyakan disertu dengan batuan yang ukurannya besar. Bukan kerikil jadi rasanya sangat menyakitkan. Dari bokong, tangan sampai tulang belakang saat bergetar mengendarai motor. Kebayang dong lamanya jika menggunakan mobil? belum jika nyasar seperti saya. Jadilah saya menghabiskan 5 jam di perjalanan hingga sampai di starting poit untuk tracking ke Waerebo.

Saya sempat mampir di Lonko, Canca melihat sawah yang bentuknya seperti sarang laba-laba. Tapi itu hanya sebentar. Tidak banyak yang bisa dilakukan disana. sebenarnya saat itu sedang musim panen, tapi karena jarak kesawah jauh jadi sulit untuk berinterkasi langsung dengan para petani.

Lupakan soal jalanan yang membuat badan pegal tadi. Saatnya bersiap untuk tracking karena menurut informasi yang saya kumpulkan butuh 2-3 jam untuk mendaki baru sampai ke Desa Waerebo. Saat tiba, ada 5 anak-anak Jakarta yang sedang siap ke Waerebo tapi mereka masih istirahat. Sepertinya masih kelelahan terombang ambing di mobil dan ojek yang mengantar mereka tadi. Saya pun mulai mendaki sendirian. Jalur pendakian bersih dan rapi. Yah secara tiap hari dilalui tamu dan penduduk desa. Jalur pendakian juga sebagian besar sudah sangat bagus karena sudah dipasangi batu dan semen jadi mirip jalan taman. Tidak berasa jalan di hutan.

Beberapa waktu berlalu akhirnya jalan setapak tanpa semen dan batu habis. sekarang berasa di hutan. Suhunya mulai dingin bahakan di tebing yang bisa melihat Desa Denge kebawa sudah tampak bunga edelweis. Artinya saya sudah berada di ketinggian berkisar 1000 mdpl. Tiba di pos 2 saya berenti sejenak untuk istirahat dan memakan bekal buah-buahan yang saya beli di Pasar Ruteng kemaren sore. Lanjut lagi hingga akhirnya saya bertemu dengan beberapa warga Waerebo yang sedang memanen kopi. Saat kesana kemaren sedang musim kopi jadilah saya bercerita sesaat dengan warga setempat mengenai perkopian. Secara saya anak petani kopi jadi vmasa kecil saya banyak berurusan dengan kopi. Bahkan sudah 7 tahun belakangan saya membuka warung kopi yang menjual kopi khusus arabika dari Papua.

Saya tiba di Waerebo jam 3.20 artinya butuh 1 jam dan 20 menit saya habiskan untuk mendaki dari starting point pendakian. Sudah termasuk makan buah dan minum kopi serta cerita dikit dengan warga yang panen kopi. Jadi buat kalian yang pengen ke Waerebo dan sudah terbiasa jalan kaki, atau mendaki kayaknya tidak bakalan lebih dari 1,5 jam utuk sampai di desa.

Waerebo pas sore hari

Saya jadi tamu ke 2 hari itu. Tamu yang datang sehari sebelumnya sudah pulang sat pagi hari. Ada lagi 2 orang tamu bule yang datang tapi tidak nginap. Mereka itu yang berpapasan dengan saya saat di Desa Denge. mereka berjalan kaki sampai di Denge baru naik mobil. Usai seremoni penjemputan, langsung ngopi-ngopi dan cerita dengan warga yang sedang menunggu tamu.

Menunggu tamu? iya Waerebo adalah desa adat. Tapi desa adat yang dipertahankan karena sudah jadi komoditas unggulan di Manggarai dari sektor pariwisata. Mereka hanya hidup dari bertani. Umbi umbian, jagung dan aneka sayuran jadi tanaman yang mereka tanam. Kopi juga, tapi itu hanya musim sekali dalam setahun. Hasil jualnya juga tidak seberapa. soalnya hanya dihargai sekitar 70.000 rupiah per kg.

Waerebo saat pagi

Bandingkan dengan pemasukan dari kegiatan pariwisata. 1 malam untuk tamu lokal 325.000 / kepala perorang sudah termasuk makan malam dan sarapan sederhana. Saat saya kesana ada lebih dari 40 orang yang bermalam. Seandainya saja rata-rata orang yang nginap perharinya 10 orang / hari, mereka bisa menghasilkan 3.250.000 . Menjanjikan bukan? belum lagi perputaran duit untuk transportasi, travel, guide sampai porter,ojek dan souvenir.

Lantas kenapa sebenyarnya banyak orang yang suka pergi ke Waerebo? menurut saya karena Waerebo sudah siap untuk dikunjungi. Pengelolaan manajemen turismnya sudah sangat ok. Jalur trekking, hospitality warga, dan tentu saja landskap yang disuguhkan sudah saling melengkapi. Sudah ada buku yang disipakan untuk dibaca para pengunjung jadi dengan mudah mempelajari desa dan rumah adatnya.

Tidak heran jika banyak pengunjung yang datang tidak terlalu banyak berinteraksi dengan warga karena mereka memang datang hanya untuk foto-foto. Datang sore, malamnya makan, pagi bangun, sarapan, foto-foto pulang. Hanya itu.

Kepala adat dan wakil 😊

Menurut saya pribadi jika kamu ingin ke Waerebo untuk foto-foto saja sangat worth . toh memang pemandangannya sanngat keren. Waerebo juga sudah sangat siap untuk itu, tapi jika berharap lebih mungkin tidak. Penduduknya saja lebih banyak tinggal di dataran rendah di bagian pesisir . Itu karena mereka bisa membuka sawah disana. Mungkin juga perlu watu-waktu tertentu jika ingin melihat ritual adat. Kata yang sambut saya waktu tiba sih itu dilakukan saat usai panen. Semacama thanks giving lah . Karena ada alat musik tadisional berupa gong di rumah adat . Dan Katanya itu dimainkan saat ada upacara adat.

Diterbitkan oleh Amos Sumbung

Suka jalan-jalan terutama ke tempat baru. Snorkeling, Baca terutama novel dan buku travel. TInggal di Manokwari Papua . Saya suka kopi. sangking sukanya, saya membuka warung kopi :D

Tinggalkan komentar