Pestapora HUT Kabupaten SORSEL 20 th

Selama 12 tahun belakang saya sering sekali ke Sorong Selatan. Kabupaten yang dimekarkan dari Kabupaten Sorong 20 tahun lalu. Saya perna merasakan dari 8 jam berkendara untuk sampai ke Ibukota Teminabuan yang jaraknya hanya 150 km dari Kota Sorong hingga 3 jam dan sekarang kembali menjadi 5 jam.

Selalu senang ketika bisa mengunjungi kabupaten yang mendeklarasikan dirinya sebagai kabupaten 1001 sungai. Bagian paling menyenangkan adalah ketika memasuki Distrik Sawiat. Melintasi pemandangan bukit-bukit karst yang cantik, aliran sungai yang super jernih memberikan rasa damain tersendiri.

The Blue River (Kali Biru) that is located in Knasaimos landscape in Teminabuan, South Sorong, West Papua. This famous river is located in Srer Village. one of the iconic river in Teminabuan, Sorong Selatan. Photo Greenpeace

Pemandangan itu bisa kita lihat sampai memasuki kota Teminabuan karena memang kontur di Teminabuan juga didominasi oleh batu kapur. Meski kontur batu kapur, tetap saja kondisi jalan tidak serta merta bagus. Ada banyak jalan berlobang akibat genangan air hujan yang bikin pinggan encok. Setelah diaspal pun cepat rusak karena aspalnya setipis daun pisang akibat anggarannya dikebiri pemberi dan penerima proyek.

Agustus 2023 menjadi ulang tahun ke 20 Kabupaten Sorong Selatan. Sayangnya belum banyak perubahan yang dicapai. Paling tidak secara kasat mata saya lihat seperti itu. kecuali soal infrastruktur bangunan perkantoran yang mewah sama beberapa kali konser rakyat yang sering terkesan hura-hura.

Kesan hura-hura kembali lagi terjadi di ulangtahunnya yang ke 20. Ada dua artis papan atas asal Indonesia Timur yang sedang naik daun Wizz Baker dan Justy Adrin yang akan diundang untuk memeriahkan Ulatah 20 Sorong Selatan. Persoalnnya apakah pantas bersenang-senang untuk menyambut ulang tahun itu?

Tentu saja pantas, yang menjadi petanyaan adalah apakah ada refleksi bersama warga capaian-capaian selama 20 tahun mekar dari kabupaten induk? apa yang masih kurang? apa persoalan utama yang harus segera diselesaikan? bagaimana kondisi pendidikan? bagaimana status dan layanan kesehatan?.

Saya peribadi berpendapat mending mengundang perwakilan setiap unsur masyarakat terus bikin refleksi bersama. Daripada bikin konser tidak penting. Baru-baru ini Kabupaten Sorsel masuk peringkat 2 Nasional dari sisi sistem pemeritnahan. Bukan peringkat dua teratas tapi dua terbawah. Apa yang salah dari sistem pemerintahan yang dijalankan? bukannya infrasutrkur perkantorannya sudah bagus. Internet ada. Bangunan keren. Jangan-jangan lebih banyak kosongnya itu perkantoran.

Jalan dari Sorong-Teminabuan hanya 150 km tapi kenapa harus ditempuh dengan 5 jam? kenapa ada banyak jalan berlobang? bahakan dalam Kota Teminabuan sendiri tidak ada tanda-tanda perbaikan jalan. Lihat jalan depan Lapangan Trinaty tempat konser peryaan HUT 20!. bagus?. Jika dalam Kota Teminabuan saja dudah rusak, tidak usah tanya jalan ke distrik-distrik. Jauh lebih parah.

Sampah di muara sungai Kohoin yang memang dekat dengan Pasar Ampera dan Pasar ikan begitu banyak. Bahkan perna beberapa bulan lalu sampah numpuk di parkiran pasar Kajase. Jalan potong dari pasar ke RRI juga penuh sampah. Belum lagi sepanjang pinggiran jalan termasuk di pertigaan Sengget.

Air bersih. Siapa tidak tau kalo ada banyak sumber air bersih yang mengalir dalam kota Teminabuan. Tapi kenapa banyak rumah yang tidak dapat akses air bersih?. Kenapa PDAM tidak lancar? KORUPSI? andai kata layanan air bersih dikelola swasta pasti untungnya banyak. Karena memang sumbernya melimpah dan dekat. Tidak butuh infrastruktur yang jelimet kayak pikiran pemda yang sering overtihingking karena memikirkan keuntungan dari proyek.

Saya jadi berpikir kerja pemerintah selama 20 tahun apa?. Apakah soal sampah tidak dipikIrkan dinas PU/Dina Kebersihan? apakah soal jalan tidak perna dipikirkan? atau sudah tapi berbasis proyek yang mepertimbangkan usur keuntungan saja tanpa hitung kulaitas? berap akali pengaspalan jalan dilakukan selama 20 tahun terkahir? berapa duit yang dikucurkan untuk perbaikan jalan yang tak kunjung baik?

Listrik juga begitu. PLN padam listrik 3-5 kali dalam sehari. Yang di kampung-kampung bisa pemadaman berjam-jam atau semalaman. Padahal ada sungai yang bisa dibuat mikrohidro. Listrik dengan sumber energi terbarukan. Tidak butuh solar. Proyek mikrohidro Kohoin malah mangkrak. Kenapa? Korupsi juga bukan?

Jika hal-hal kecil ini saja tidak dilihat sebagai bentuk dari pembangunan . Maka saya pikir pemekaran di Papua secara keseluruhan tidak sesuai dengan tujuan awalnya. yang katanya untuk mendekatkan pelayanan publik. Semerataan pembangungan. sebaliknya pemerataan korupsi dan bagi-bagi kekuasaan.

Jadi makna 20 tahun hut sorsel apa?

Teminabuan 10 Tahun Kemudian Jalannya Tetap Sama

Pertama kali menginjakkan kaki ke Sorong Selatan pada sekitar 15 tahun silam. tepatnya di tahun 2008 ketika masih duduk di bangku kuliah dan ikut menjadi relawan disebuah kegiatan warga di Kampung Mlaswat, Distrik Seremuk. Sekarang Mlaswat masuk di Distrik Saifi pemekaran dari Distrik Seremuk.

Tentu saja saat itu jalan menuju Sorong Selatan masih sangat jelek. Mobil kesana masih didominasi oleh mobil-mobil 4WD karena mabanyak medan jalan yang butuh tenaga ekstra. Apa lagi jalan masuk Mlaswat saat itu baru dibuka jadi masih sangat offroad. sertu bleum keras dan kubangan sepanjang jalan.

perjalanan saya ke Sorsel terutama Teminabuan, Distrik Saifi dan Distrik Seremuk makin intens sejak tahun 2011. Jalan poros Sorong -Teminabuan saat itu sebagian besar mulai di cor menggunakan semen. jika saat ini anda ke Teminabuan maka sebagian besar jalan berupa jalan cor. Beberapa tempat masih sering diperbaiki akibat rusak karena kontur tanah yang tidak stabil.

Jalan rusak akan ada temui saat masuk wilayah percabangan jalan Sorong -Maybrat – Teminabuan. perna sih menikmati jalan licin disitu tapi hanya setahun. Selanjutnya hancur lagi hingga sekarang. malah makin parah.

Dalam Kota Teminabuan sendiri 10 tahun lalu dan sekarang sama saja. Tidak ada perubahan. Kalo ada presentasinya sedikit. Jalan berlobang dengan mudah ditemukan disana-sini. Begitu anda tiba di Teminabuan, anda akan disambut libang besar sepanjang jalan di Puskesmas Teminabuan sampai komplek perkantoran bupati.

Pertanyaannya selama ini bupati dan para kepala dinas lewat mana? apaka mereka nyaman melalui jalan yang bisa membuat pinggang encok? apakah memperbaiki jalan dalam kota yang tidak seberapa luas itu akan membuat kabupaten Sorong Selatan bangkrut? Jika sudah begini tidak usah berharap jalan ke distrik-distrik akan bagus. lah jalan menuju kantor bupati saja rusak apa lagi jalan ke rumah kepala kampung.

Intinya dalam 10 tahun, jalan di Sorong Selatan kerjanya tambal sulam yang bertahan hanya beberapa bulan kemudian hacur kembali. tidak ada niat membagun jalan yang laiyak dari pemerintah.

Tidak Sengaja Ke Waerebo

Siapa yang memasukkan Desa Adat Waerebo dalam bucket listnya? atau sudah perna ke sana?. Saya salah satunya. Dulu perna kepikiran untuk pergi ke desa yang sangat fotogenik itu. Secara kalo ngomongin Manggarai, selain Pulau Komodo, ya Waerebo. Tidak heran jika cari referensi untuk berkunjung ke Waerebo cukup banyak.

Yang jadi persoalan ketika saya tidak mendapatkan detail informasi mengenai pergi ke Waerebo tanpa pemandu wisata. Secara dari kebanyakan referensi kunjungan ke Waerebo orang-orang bergantung sekali pada pemandu wisata bahkan ikut travel. Bahkan orang Indonesia sekalipun kebanyakan pakai jasa travel. Sementara saya orangnya malas untuk ikut travel apa lagi sedang solo traveling.

Meski jalan jelek, rute menuju Waerebo pemandangannya tetap cantik

Pada akhirnya saya bulatkan keputusan untuk tidak ke Waerebo bahkan saat tiba di Flores. Waerebo sudah terharpus dari bucket list saya. Cukup nonton youtbe dan baca ceritanya saja. Pikirku. Ternyata setelah tiba di Ruteng saya diracuni sama pemilik hostel tempat tinggal saya. “bagus, sayang sudah jauh-jauh datang trus tidak ke Waerebo” kata si pemilik hostel setelah berkenalan. Kebetulan dia baru saja kembali dari Waerebo saat saya chekin. Kelihatan capeknya. Capek karena harus duduk dimobil berjam-jam dengan kondisi jalan yang sebagian besar HANCUR.

Usai mengorek-ngorek informasi dari sang pemilik hoestel yang sepertinya sering ngantar tamu ke Waerebo, malamnya saya memutuskan untuk pergi ke Waerebo esok hari. Toh dari hasil berburuh informasi tidak banyak yang bisa saya eksplore di Ruteng. Kotanya sudah hampir saya kelilingi dalam beberapa jam sesaat setelah tiba di Ruteng. Sisanya bisa setelah kembali dari Waerebo.

Pemandangan pas tiba di Desa Denge

Usai sarapan jam 9 pagi, saya langsung tancap gas. Kali ini saya dapat motor yang agak ”nyaman”. Meski tetap matic tapi lebih nyaman karena ukurannya yang besar. Iformasnya saya harus mengendarai motor 3-4 jam baru sampai di Desa Denge. Desa terdekat untuk sampai di starting point untuk tracking ke Waerebo.

Tidak bisa dipungkiri jalan di Flores sangat bagus. Terutama jalan lintas kabupaten. secara ini merupakan jalan yang didanai dari Propinsi atau bahkan Jalan Nasional. Tapi seperti yang perna saya ceritakan di blog saya sebelumnya jalan untuk urusan kabupaten persis sama dengan daerah lain yang tidak terurus. Sama dengan jalan ke Denge. Rasanya membosankan tapi karena ini sedang traveling saya harus menikmati. meski kebanyakan dalam hari mengerutu memaki-maki pemerintah daerah yang tidak bisa memperbaiki jalan dan hanya sibuk promosi wisata.

Jalannya kebanyakan disertu dengan batuan yang ukurannya besar. Bukan kerikil jadi rasanya sangat menyakitkan. Dari bokong, tangan sampai tulang belakang saat bergetar mengendarai motor. Kebayang dong lamanya jika menggunakan mobil? belum jika nyasar seperti saya. Jadilah saya menghabiskan 5 jam di perjalanan hingga sampai di starting poit untuk tracking ke Waerebo.

Saya sempat mampir di Lonko, Canca melihat sawah yang bentuknya seperti sarang laba-laba. Tapi itu hanya sebentar. Tidak banyak yang bisa dilakukan disana. sebenarnya saat itu sedang musim panen, tapi karena jarak kesawah jauh jadi sulit untuk berinterkasi langsung dengan para petani.

Lupakan soal jalanan yang membuat badan pegal tadi. Saatnya bersiap untuk tracking karena menurut informasi yang saya kumpulkan butuh 2-3 jam untuk mendaki baru sampai ke Desa Waerebo. Saat tiba, ada 5 anak-anak Jakarta yang sedang siap ke Waerebo tapi mereka masih istirahat. Sepertinya masih kelelahan terombang ambing di mobil dan ojek yang mengantar mereka tadi. Saya pun mulai mendaki sendirian. Jalur pendakian bersih dan rapi. Yah secara tiap hari dilalui tamu dan penduduk desa. Jalur pendakian juga sebagian besar sudah sangat bagus karena sudah dipasangi batu dan semen jadi mirip jalan taman. Tidak berasa jalan di hutan.

Beberapa waktu berlalu akhirnya jalan setapak tanpa semen dan batu habis. sekarang berasa di hutan. Suhunya mulai dingin bahakan di tebing yang bisa melihat Desa Denge kebawa sudah tampak bunga edelweis. Artinya saya sudah berada di ketinggian berkisar 1000 mdpl. Tiba di pos 2 saya berenti sejenak untuk istirahat dan memakan bekal buah-buahan yang saya beli di Pasar Ruteng kemaren sore. Lanjut lagi hingga akhirnya saya bertemu dengan beberapa warga Waerebo yang sedang memanen kopi. Saat kesana kemaren sedang musim kopi jadilah saya bercerita sesaat dengan warga setempat mengenai perkopian. Secara saya anak petani kopi jadi vmasa kecil saya banyak berurusan dengan kopi. Bahkan sudah 7 tahun belakangan saya membuka warung kopi yang menjual kopi khusus arabika dari Papua.

Saya tiba di Waerebo jam 3.20 artinya butuh 1 jam dan 20 menit saya habiskan untuk mendaki dari starting point pendakian. Sudah termasuk makan buah dan minum kopi serta cerita dikit dengan warga yang panen kopi. Jadi buat kalian yang pengen ke Waerebo dan sudah terbiasa jalan kaki, atau mendaki kayaknya tidak bakalan lebih dari 1,5 jam utuk sampai di desa.

Waerebo pas sore hari

Saya jadi tamu ke 2 hari itu. Tamu yang datang sehari sebelumnya sudah pulang sat pagi hari. Ada lagi 2 orang tamu bule yang datang tapi tidak nginap. Mereka itu yang berpapasan dengan saya saat di Desa Denge. mereka berjalan kaki sampai di Denge baru naik mobil. Usai seremoni penjemputan, langsung ngopi-ngopi dan cerita dengan warga yang sedang menunggu tamu.

Menunggu tamu? iya Waerebo adalah desa adat. Tapi desa adat yang dipertahankan karena sudah jadi komoditas unggulan di Manggarai dari sektor pariwisata. Mereka hanya hidup dari bertani. Umbi umbian, jagung dan aneka sayuran jadi tanaman yang mereka tanam. Kopi juga, tapi itu hanya musim sekali dalam setahun. Hasil jualnya juga tidak seberapa. soalnya hanya dihargai sekitar 70.000 rupiah per kg.

Waerebo saat pagi

Bandingkan dengan pemasukan dari kegiatan pariwisata. 1 malam untuk tamu lokal 325.000 / kepala perorang sudah termasuk makan malam dan sarapan sederhana. Saat saya kesana ada lebih dari 40 orang yang bermalam. Seandainya saja rata-rata orang yang nginap perharinya 10 orang / hari, mereka bisa menghasilkan 3.250.000 . Menjanjikan bukan? belum lagi perputaran duit untuk transportasi, travel, guide sampai porter,ojek dan souvenir.

Lantas kenapa sebenyarnya banyak orang yang suka pergi ke Waerebo? menurut saya karena Waerebo sudah siap untuk dikunjungi. Pengelolaan manajemen turismnya sudah sangat ok. Jalur trekking, hospitality warga, dan tentu saja landskap yang disuguhkan sudah saling melengkapi. Sudah ada buku yang disipakan untuk dibaca para pengunjung jadi dengan mudah mempelajari desa dan rumah adatnya.

Tidak heran jika banyak pengunjung yang datang tidak terlalu banyak berinteraksi dengan warga karena mereka memang datang hanya untuk foto-foto. Datang sore, malamnya makan, pagi bangun, sarapan, foto-foto pulang. Hanya itu.

Kepala adat dan wakil 😊

Menurut saya pribadi jika kamu ingin ke Waerebo untuk foto-foto saja sangat worth . toh memang pemandangannya sanngat keren. Waerebo juga sudah sangat siap untuk itu, tapi jika berharap lebih mungkin tidak. Penduduknya saja lebih banyak tinggal di dataran rendah di bagian pesisir . Itu karena mereka bisa membuka sawah disana. Mungkin juga perlu watu-waktu tertentu jika ingin melihat ritual adat. Kata yang sambut saya waktu tiba sih itu dilakukan saat usai panen. Semacama thanks giving lah . Karena ada alat musik tadisional berupa gong di rumah adat . Dan Katanya itu dimainkan saat ada upacara adat.

Ruteng, Ibukota Kabupaten Yang Bersahaja

Dengar kata Ruteng pasti yang terbayangkan adalah persawahan dengan bentuk menyerupai sarang laba-laba. Iya itu sudah pasti karena obyek wisata paling dekat di Kota Ruteng adalah Linko, persawahan sarang laba-laba yang bisa dilihat dari bukit Cancar. Cukup berkendara 20 menit sudah sampai.

Buat saya yang baru pertama kali menginjakkan kaki di kota ini banyak kejutan. Lanskap sudah pasti bagus. Kota yang berada di ketinggian yang lumayan tertata rapi. Cukup bersih juga mirip lah sama Bajawa. Bedanya Ruteng sedikit lebih luas, lebih ramai. Pantaslah waktu dalam perjalanan dari Bajawa ke Ruteng dalam mobil yang saya tumpangi ada seorang ibu-ibu yang juga ke Ruteng ingin menghadiri acara wisuda anaknya. Bawaannya 2 ekor ayam dan 1 jerigen 5 liter mokke (minuman lokal beralkohol).

Gereja Katedral di Ruteng

Yang paling saya salut adalah keserhanaan kantor pemerintah seperti kantor bupati . Sederhana. Janua dua lantai. Ukurannua tidak terlalu besar. Tidak seperti bangunan kantpr bupati di bebberapa kabupaten pemekaran di Papua yang ukurannya besar, halaman besar, ruangan banyak tapi tidak terawat. Bahkan kinerjanya ya B saja. 

Dua kali saya menyempatkan untuk jalan-jalan di komplek pertokoan yang lemungkinan besar pasar lama. Cukup bersih. Biasanya pasar identik dengan sembraut, kumuh dan bau. Di Ruteng itu tidak saya temukan. Saya juga suka dengan fasilitas laundry kiloannya yang murah dan cepat. Sama dengan di Bajawa. 35.000 rupiah bisa nyuci 3 kg hasil ya diterima 2 jam.

Jembatan di Kota Ruteng

Di Ruteng juga banyak fasilitas penginapan. Terutama homestay. Mereka cukup siap uuntuk pariwisata. Cari di google map ada banyak homestsy. Bahkan hostel tempat saya nginap . Letaknya strategis ditengah kota jadi gampang kemana-mana. Pemiliknya juga paham soal tourism jadi tidak heran pas nginap disana tamunya banyak dari berbagai negara.

Mau ngopi juga ada warung kopi yang menjual kopi khas setempat dengan kualitas premium. Harga? Sangat terjangkau. 1/2 harga kopi brand dari luar negeri. Jalan – jalan pagi atau sore keliling kota jadi makin asik dengan suhu yang adem. Makan juga gampang. Banyak warung dan harga bersahabat.

Meski bagus tentu ada kurangnya. misal jalan. Dalam pusat kota memang bagus jalannya. Tapi kalo ke pinggiran terutama yang arah ke selatan banyak yang berlobang. Banyak juga bangunan yang asal bangun tanpa melihat estetika. Misal bangunan dekat jembatan yang belakangnya dibangun di atas sungai. Ada juga patung dalam kota yang belakangnya sedang dibangun sebuah ruko. Jaraknya sangat mepet dengan patung Kristus jadi mengurangi keindahan taman.

Konsepnya gimana ni bangunan dan taman?
Sungai kok di atasnya ada bangunan?

Tentu 3 hari di Ruteng tidak akan cukup untuk mengeksplore Ruteng secara detail dan lengkap. Apalagi menilai baik buruknya. Tapi, 3 hari memberi pengalaman dan rasa nyaman yang cukup. Jika berkesempatan untuk kembali, tentu mau.

Berkunjung Ke Rote Dalam 1, 5 Jam

Saat mulai berencana untuk mengeksplore propinsi NTT, saya sebenarnya sedikit dilema akan ke bagianmana. Karena setelah browsing sana-sini mengenai akses masuk dan keluar serta jalur antar daerah tidak memungkinkan buat saya untuk mengunjungi semua daerah di NTT. Saya harus memilih dari 3 wilayah besar yang ada. Alor, Flores atau bagian selatan. Kupang, Rote dan Sumba. Semua tentu sangat menarik untuk dikunjungi dengan daya tarik khas masing-masing pula. Setelah menimbang-nimbang saya akhirnya memutuskan untuk ke Flores dan tentu saja berharap suatu saat nanti bisa melanjutkan menjelajaha ke Alor, Timor, Rote dan Sumba.

Saat Hari Minggu di Maumere, saya menyempatkan diri untuk beribadah di gereja GMIT Jemaat kalvari. Kebetulan saat itu awal bulan layanan budaya dan bahasa. Selama satu bulan, gereja mendesain liturgi pelayanan ibadah Hari Minggu sesuai dengan budaya paling banyak dari anggota jemaat mulai dari suku setempat hingga suku luar seperti Toraja dan Batak. Selama ibadah kita menggunakan dua bahasa. Termasuk saat menyanyi, baca firman . Khotba kebanyakan pakai Dahasa Indonesia tapi sesekali diselipkan bahasa daerah.

Minggu berikut saya sudah di Bajawa. Saya juga menyempatkan diri untuk ikut beribadah di satu-satunya gereja protestan yang saya lihat di Bajawa. GMIT Jemaat Ebenhaezer. Hari pertama tiba di Bajawa, gereja ini sudah menarik perhatian saya. Secara lokasinya tetanggaan dengan sebuah mesjid yang tepat berada di seberang jalan.

Sepertinya jemaatnya tidak terlalu banyak. Tampak dari jadwal ibadah yang hanya sekali dalam sehari. Biasaya jemaat yang besar akan membagi beberapa jam ibadah. Di gereja ini hanya sekali jam 8 pagi. Beruntungnya saya saat hari itu liturgi dibawakan dalam budaya Rote. Semua jemaat asal Rote tentu saja menggunakan baju adat mereka. Para majelis jemaat juga begitu. Lagu-lagu dinyanyikan dalam dua versi bahasa. Bahkan ada tarian tradisional yang di bawakan anak-anak asal Rote. Jadi berasa tidak sedang di Bajawa tapi sedang ada di Rote.

Sekilas tampak beberapa perbedan dari suku-suku yang ada di NTT. Bahasa sudah pasti beda, perawakan juga beda yang mungkin agak mirip tapi beda adalah kain timor. Kain yang ditenun. Meski sama-sama ditenun tapi jika dilihat lebih dalam ada perbedaan dari tiap daerah. Terutama dari pilihan warna dan motif. Semoga saja diwaktu-waktu yang akan datang saya bisa melihat Rote lebih dekat. Saatnya kebali ke penginapan dan bangun dan keluar dari lingkungan Rote. Meski sesaat, vibesnya sudah sangat memberi banyak pengalaman.